KARAKTERISTIK DALAM IBADAH HAJI

  • Salman ITB
  • didin wahyudin
  • 72
...

Berdasarkan karakteristik ibadah haji, jelaslah bahwa jamaah haji juga harus memiliki patokan dan pedoman yang kukuh dalam melaksanakan ibadah haji. Dengan patokan dan pedoman itulah, dia bisa meraih haji mabrur yang cumlaude sebagaimana yang diharapkan.

Sebagai ibadah mahdhah, ibadah haji paling tidak memiliki sembilan karakter, sebagai berikut:

1. Mihadh

Bersih dari aturan diluar manasik haji sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Contoh, dalam rangka melakukan pekerjaan yang Terbaik, seseorang bekerja dengan prinsip efektif dna efisien. Tetapi, apabila seseorang berlari cepat (sprint) diantara Bukit Shafa dan Marwah, hal ini terlarang karena aturannya tidak demikian.

2. Taufiqi

harus cocok dan tepat dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Dalam hal ini, seorang ulama atau badan pengurus haji tidak boleh mengubah-ubah manasik haji hanya karena mengacu pada pertimbangan nalar-rasional, apalagi karena pertimbangan keuntungan bisnis.

3. ‘Amr (perintah)

Semua rangkaian ibadah haji harus dilakukan sesuai dengan ‘amr (perintah) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Seseorang tidak boleh melakukan sesuatu tanpa perintah Allah dan Rasul-Nya. Misalnya, berjalan mundur sehabis Thawaf Wada’. Tindakan itu bukan perintah Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam. Dan ini termasuk bid’ah.

4. Ittiba’

Mengikuti Rasulullah shalallahu alaihi wassalam tanpa reserve.

“Apa yang diberikan oleh Rasul Allah kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarang bagimu, tinggalkan (QS. Al-Hasyr [59]:7) “

Dari Umar bin Khattab r.a. berkata:

إِنِّيْ أَلَمُأَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرَّ، وَلَا تَنْفَعُ، وَلَوْ لَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَبَّلَكَ مَا قَبَلْتُكَ، ثُمَ قَبَّلَهُ

“ sesungguhnya aku mengetahui bahwa kamu adalah batu yang tidak bisa memberi mudharat dan juga tidak memberi manfaat. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menciummu, aku pun tidak akan menciummu. Kemudian, Umar pun menciumnya.”

5. Masthath'tum

Dikerjakan dengan sekuat tenaga. Misalnya, waktu utama untuk melemparkan jumrah ‘Aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah, adalah pada waktu dhuha. Tetapi, jika tidak kuat, lakukanlah setelah ashar. Jika tidak kuat juga, lakukanlah pada waktu malam.

6. Waqi'iy

Melihat kenyataan di lapangan. Jamaah haji bisa mendapatkan keringanan (rukhshah) setelah dia melihat realitas di lapangan terdapat kesulitan untuk melaksanakan. Misalnya, ketika seseorang baru melaksanakan dua putaran tawaf, ternyata dia tidak kuat. Dia dipersilahkan untuk menggunakan kursi roda.

7. Munfaridiy

Dikerjakan secara perseorangan, bukan berjamaah. Jika shalat lebih utama dilaksanakan secara berjamaah, rangkaian ibadah haji lebih bersifat perseorangan. Karena itu, setiap jamaah haji tidak boleh bergantung, kepada pembimbing.

8. Fardu'ain

Ibadah haji merupakan kewajiban individual atau kewajiban perseorangan yang tidak bisa diwakili dan digantikan oleh orang lain.

9. Tafshil

Aturan haji sudah sangat terperinci dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya. Karena itu, jamaah haji tinggal melaksanakannya sesuai dengan dalil-dalil yang ada. Pembimbing pun tidak perlu banyak melakukan ijtihad dalam soal hukum haji, kecuali soal strategi dan teknik pelaksanaan. Tindakan menambah-nambah dari yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam adalah bid'ah dhalalah (berlebihan yang sesat). Jika aturan Allah dan Rasul-Nya dikurangi dari yang seharusnya, disebut Zalim; hajinya tidak sempurna. Apalagi jika dengan sengaja mengubah-ubah, bisa dihukum fasiq.

Berdasarkan karakteristik ibadah haji tersebut, jelaslah bahwa jamaah haji juga harus memiliki patokan dan pedoman yang kukuh dalam melaksanakan ibadah haji. Dengan patokan dan pedoman itulah, dia bisa meraih haji mabrur yang cumlaude sebagaimana yang diharapkan.

(Sumber: haji (falsafah, syariah & rihlah), Dr. K.H. Asep Zaenal Ausop, M.Ag)

Artikel Lainnya